KARO | Tanah Karo kembali dihebohkan dengan maraknya praktik perjudian yang diduga berlangsung secara terang-terangan di Desa Sinaman, Kecamatan Barusjahe. Permainan jenis dadu kopyok yang kian populer itu disebut-sebut mengalirkan omzet ratusan juta rupiah per hari. Bukan hanya soal besarnya nilai uang yang berputar, yang menjadi perhatian publik adalah dugaan kuat keterlibatan aparat berseragam dalam melindungi praktik ilegal ini. Sosok yang kerap disebut dalam berbagai informasi dari lapangan adalah seorang pria berbaju loreng yang dijuluki “Danru”.
Dalam beberapa pekan terakhir, aktivitas perjudian ini menjadi perbincangan hangat di kalangan warga, tokoh desa, dan bahkan awak media. Meski aktivitas ini pernah diberitakan dan bahkan diminta untuk ditindak oleh aparat penegak hukum, tidak ada tindakan nyata yang terlihat. Hal ini memunculkan dugaan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang sengaja membiarkan aktivitas tersebut berlangsung, atau bahkan mungkin menjadi bagian dari sistem yang melindungi keberlangsungannya.
Seorang warga Desa Sinaman yang menghubungi tim media pada Senin, 9 Juni 2025 melalui sambungan WhatsApp mengaku heran dengan pembiaran yang terjadi. Ia menyampaikan bahwa baik Kepala Desa maupun Karang Taruna setempat sebenarnya telah menyampaikan keberatan mereka kepada pihak kepolisian, dalam hal ini Kapolsek Barusjahe, dengan harapan perjudian tersebut bisa ditutup. Namun hingga kini, suara mereka seolah tak digubris. Warga tersebut mengatakan bahwa Kapolsek tampaknya tidak berani bertindak tegas karena yang mengelola tempat judi tersebut berasal dari institusi yang tidak bisa disentuh—maksudnya adalah aparat TNI aktif.
Saat ditanya siapa oknum yang dimaksud, warga itu mengatakan bahwa biasanya ada beberapa orang berbaju loreng di lokasi pada sore hari. Namun jika ada awak media yang datang, biasanya hanya ada satu orang yang tampil dan mengendalikan situasi. Orang itulah yang kerap dipanggil dengan nama “Danru”, sebuah nama yang diduga mengacu pada jabatan Komandan Regu dalam struktur militer. Menurutnya, nama asli dari sosok ini belum diketahui karena ia sendiri hanya tahu dari panggilan yang digunakan para pemain dan pengelola di lokasi.
Yang mengejutkan, praktik serupa tidak hanya ditemukan di Desa Sinaman. Tim media juga menerima laporan bahwa sebelumnya aktivitas judi dadu ini beroperasi di belakang Plaza Kabanjahe. Namun kini telah berpindah lokasi ke depan plaza, tepatnya di sebuah ruko atau kedai kopi. Ironisnya, tempat baru itu pun disebut-sebut dikelola oleh oknum yang sama—yang berseragam loreng dan tidak tersentuh hukum. Pergantian tempat ini disinyalir sebagai upaya untuk menghindari sorotan atau tekanan yang mungkin muncul dari media dan masyarakat, tanpa benar-benar menghentikan operasionalnya.
Tim media mencoba melakukan konfirmasi kepada pihak Provost dan Intel di lingkungan Yonif 125/Si’Mbisa, kesatuan yang disebut-sebut sebagai tempat bertugas “Danru”. Melalui pesan WhatsApp, pihak Provost menyampaikan bahwa mereka tidak mengetahui siapa sosok yang dimaksud dan akan melakukan pengecekan ke lapangan. Jawaban ini menimbulkan pertanyaan besar. Apakah benar pihak internal kesatuan tidak tahu siapa anggotanya yang sedang menjadi sorotan? Ataukah ini bagian dari strategi pembiaran terhadap aktivitas yang jelas-jelas melanggar hukum dan merugikan masyarakat?
Ketika seorang prajurit aktif terlibat dalam aktivitas perjudian, apalagi sampai mengelola atau mengamankan operasi haram tersebut, maka itu bukan hanya pelanggaran disiplin, tetapi juga kejahatan serius yang mencoreng nama baik institusi. Apalagi jika benar bahwa sosok tersebut bukan sekadar “pemain lapangan” tetapi justru pengendali utama yang bertindak atas jaminan taktis dari relasi kuasa yang ia miliki sebagai anggota militer aktif.
Di sisi lain, masyarakat Desa Sinaman mulai merasa resah dan kecewa. Banyak yang mempertanyakan ke mana aparat penegak hukum saat kegiatan haram ini berlangsung di depan mata. Kepercayaan publik terhadap institusi seperti TNI dan Polri bisa terkikis apabila praktik-praktik seperti ini terus dibiarkan tanpa penindakan nyata. Lebih dari sekadar mencari tahu siapa “Danru” sebenarnya, publik kini menunggu apakah hukum masih bisa ditegakkan dengan adil dan tidak tebang pilih.
Sejumlah tokoh masyarakat dan pengamat yang dimintai pendapat menyatakan bahwa keterlibatan aparat dalam bisnis haram semacam ini adalah bentuk penghianatan terhadap sumpah jabatan mereka sendiri. Prajurit sejatinya adalah pelindung rakyat, bukan penindas atau penyedia ruang bagi kejahatan berjubah ketertiban. Negara tidak boleh diam. Panglima TNI, Danrem, hingga komandan batalyon terkait semestinya segera turun tangan untuk melakukan evaluasi dan pemeriksaan menyeluruh.
Kasus ini tidak bisa dianggap selesai dengan jawaban “kami tidak tahu.” Sebab ketidaktahuan yang berkepanjangan, dalam sistem hierarki militer yang ketat dan tertib, justru akan memunculkan kecurigaan bahwa ada perlindungan terselubung terhadap oknum tersebut. Apalagi praktik perjudian ini tidak terjadi dalam skala kecil dan berlangsung hanya semalam dua malam. Ini sudah menjadi rutinitas harian dengan aliran uang yang sangat besar, dan jelas tidak akan bertahan lama tanpa perlindungan dari aktor kuat.
Warga berharap agar suara mereka didengar dan ditindaklanjuti. Ketegasan dan transparansi adalah kunci untuk memulihkan kepercayaan yang mulai runtuh. Jika benar aparat terlibat, maka sanksi tegas harus diberikan, tak peduli pangkat dan jabatannya. Jika tidak, maka kekebalan hukum akan menjadi norma baru, dan masyarakat akan terus menjadi korban dari praktik haram yang dilindungi seragam.
Tim media akan terus melakukan penelusuran, menyisir informasi dari lapangan, dan mendorong pihak-pihak berwenang untuk tidak menutup mata. Sebab pertanyaan tentang siapa “Danru” itu bukan hanya soal identitas, melainkan soal keberanian hukum menghadapi kekuasaan gelap yang menyelinap di balik loreng. (TIM)